Mencekam,
mengkhawatirkan dan menakutkan itulah yang terasa saat aku di rumah kecilu. Itu
semua berawal dari protesku terhadap ketidakadilan yang terjadi disini dan
diberlakukannya jam malam kepada semua orang. 2 putraku dan seorang putriku
sudah tertidur di kamarnya masing-masing. Aisyah, putriku yang pertama sangat
berbeda dengan adik-adiknya. Dia sangat cerdas, dan sangat taat kepada agama,
ditambah lagi wajahnya yang cantik seperti uminya. Malam sudah larut, aku pun
bergegas tidur.
“Abi, bangunlah mari
kita tahajud.” Kata-kata tersebut membuat diriku terbangun. Saat membuka
mataku, aku melihat Aisyah sudah menggunakan mukena. “Iya Putriku” “Alhamdu
lillahilladzi ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilahin nusyuur.”kataku dalam
hati. Setelah aku wudhu aku langsung mengimami keluargaku untuk shalat malam.
Ku tutup shalat malam itu dengan do’a. Dalam do’a itu kuingin semua keluargaku
meninggal dalam khusnul khotimah dan ketidakadilan ini segera cepat berlalu
dengan kebaikan yang menang. Adzan Shubuh berkumandang, namun adzan itu berlalu
begitu cepat. Dzikir terucap oleh seluruh keluargaku setelah shalat.
Matahari mulai
menerangi bumi. Suara tembakan pun ikut menyertainya. Tembakan itu berasal dari
polisi, ya polisi. Yang seharusnya membawa kedamaian tapi mereka membawa
kematian. Sudah banyak temanku dan teman
Hasna, istriku yang sudah syahid. Ini bukan senjata lawan senjata, tetapi
senjata melawan keimanan. Aku sekeluarga tak ridho atas semua itu.
Selepas bersiap-siap
aku sekeluarga pergi untuk berkumpul bersama dengan yang lain di Tahrir Square.
Kami teriakan yel-yel yang berisi membela pemimpin kami yang terdzalimi, terik
matahari tak membuat kami menyerah akan tetapi membuat suasana semakin semangat. Terlihat Aisyah sangat
bersemangat “Aisyah apakah kamu tidak lelah? Jika lelah pulanglah duluan dengan
ibumu” kataku. “Baiklah” jawabnya. Tadinya kupikir dia akan menolak, ternyata
tidak. Setelah beberapa lama Aisyah kembali. “Mengapa kau balik lagi?” tanyaku.
“Aku tidak lelah, aku hanya mengantar umi yang sudah terlihat sangat lelah.”
Jawabnya. Ternyata dia hanya mengantar uminya yang sudah lelah dan dia sendiri
tidak lelah. Itulah keistimewaan Aisyah.
Adzan Dzuhur
berkumandang, sontak semua yang ada mengehentikan aksinya dan menuju masjid
terdekat. Saat takbir pertama suara tembakan terdengar munuju ke arah kami yang
sedang sholat. Semakin lama suara tembakan itu semakin banyak ketika rakaat
terakhir. Saat sholat selesai aku pun keluar melihat apa yang terjadi dan
kulihat jama’ah yang sholat di luar masjid berlarian karena jamaah ada yang
terluka. Terdengar teriakan dari salah seorang jama’ah “Biarlah Allah yang
menjadi saksi atas perbuatan keji ini!”
Hari semakin sore aku
pulang dengan keluargaku. Malam pun datang. Sesudah isya kami langsung
istirahat. Saat itu aku bermimpi aku melihat putriku Aisyah memakai gaun
pengantin dan dia sangat cantik. “Apakah kau akan menikah malam ini?” tanyaku.
“Tidak bukan malam ini tetapi siang nanti” jawabnya. Saat terbangun aku lupa
akan mimpi itu. Setelah shubuh diriku ingin sekali memeluk Aisyah, aku tak tahu
mengapa perasaan ini muncul tiba-tiba. Perasaan itu juga muncul pada Hasna. Ia
ingin selalu berada di sisi Aisyah.
Pagi-pagi sekali aku
dijemput oleh para pendemo yang menginap di camp di dekat rumahku. Aku pun
pergi bersama kedua anak laki-lakiku. Hasna tak ikut sementara Aisyah akan
menyusul. Saat tiba dilokasi kulihat polisi sudah banyak yang berjaga, dan
terlihat beberapa di atas gedung. Setelah beberapa lama ku lihat Aisyah sudah
ada.
Panas matahari sudah
sangat terik, suasana tambah panas ketika polisi mulai menembakan timah panas
kearah demonstran. Aku mulai khawatir dengan keluargaku. Aku pun menyuruh
Husein menemani uminya di rumah dan Khalid mengantar pulang Aisyah. Terdengar
suara tembakan dari atas gedung. Tak lama ada suara pemuda berteriak, “Ada yang
syahid!! Ada yang syahid!!” akupun langsung berlari menuju arah suara itu. “Ada
apa?”tanyaku penasaran. “Ada seorang gadis yang tertembak” jawabnya. Sontak aku
pun teringat oleh Aisyah. Akupun segera kembali ke rumah mengecek keadaan.
Ternyata rumahku sudah banyak orang. Segera aku masuk. Dan terlihat jasad
seorang gadis. Saat ku dekati. “innalillahi wa innailaihiroji’un” putriku
satu-satunya telah menghadap kepada Yang Mengusai alam semesta. Baru kusadari
akan mimpi semalam. Semua terjadi begitu cepat. Aisyah telah tiada dalam
keadaan menolak ketidakadilan dan kekejaman pemerintah, serta dekat dengan
kekuasaan dan aturan Allah. Kusuruh Khalid untuk mengantarmu pulang ke rumah,
tetapi belum sempat mengantar kau sudah pulang terlebih dahulu dan takkan
kembali. Selamat jalan putriku, sampai jumpa di Surga Firdaus bersama para Nabi
dan sahabatnya.
0 comments:
Posting Komentar