Di antara kaum muslimin ada yang menjadikan argumentasi sila
pertama tersebut di atas sebagai dalil bahwa negeri ini adalah negeri muslim
berasaskan tauhid, benarkah demikian?
1. Seseorang disebut sebagai muwahhid jika ia menjadikan
Allah saja satu-satunya sebagai ilah. Dalilnya begitu banyak diantaranya:
Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, (Q.S. Al-Ikhlas :
1)
Adapun sila pertama di atas adalah bentuk monotheisme yang sungguh
berbeda dengan tauhid karena tauhid secara definitive menjadikan Allah sebagai
satu-satunya ilah. Sedangkan monotheisme tidak, ia menyadarkan ketuhanannya
kepada siapa saja asalkan jumlah tuhannya satu/esa. Contoh bukankah Fir’aun
juga menjadikan dirinya Tuhan satu-satunya yang mengharuskan penduduknya
menyembah kepadanya? Maka ini bisa disebut sebagai monotheisme.
2. Pidato Soekarno berikut ini mempertegas argumentasi di
atas:
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka
dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja
bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
bertuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa
al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhamad s.a.w, orang Buddha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat
hendaknya “ber-Tuhan secara kebudayaan”, yakni dengan tiada “egoisme-agama”.
Perhatikan statement nyeleneh Soekarno pada kalimat yang
bertanda kutip, untuk lebih memperjelas apa maksud sila ketuhanan tersebut
yakni “ber-Tuhan secara kebudayaan”
3. KH. Firdaus AN salah seorang saksi sejarah menulis dalam
bukunya, Dosa-dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru sbb:
Ketuhanan adalah kata imbuhan dengan awalan “ke” dan akhiran
“an.” Kata yang seperti itu ada dua arti.
Pertama, berarti menderita. Seperti kedinginan ,menderita
dingin; kepanasan, menderita panas. Kehausan, menderita haus, dan sebagainya.
Kedua, berarti banyak. Ketumbuhan, banyak yang tumbuh,
seperti penyakit campak atau cacar yang tumbuh di badan seseorang. Kepulauan,
banyak pulau; Ketuhanan, berarti banyak Tuhan. Jadi kata Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah Contradictio in Terminis (Pertentangan dalam tubuh kata-kata itu
sendiri) Mana mungkin banyak Tuhan disebut yang maha esa. Dalam bahasa Arab,
itu disebut “Tanaqudh” (pertentangan awal dan akhir). Logika ini jelas tidak
sehat, bertentangan dengan kaidah ilmu bahasa. Jelaslah, kata Ketuhanan itu
syirik. Dan kalau yang dituju itu memang Tauhid, maka rumusannya yang tepat
adalah Pengabdian kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa. Padahal Presiden Soeharto
sendiri menegaskan: “Jangan masukkan nilai dari paham lain (Islam, Pen.) ke
dalam Pancasila” (Kompas, 21 Mei 1991).
MASUKNYA DOKTRIN ZIONIS YAHUDI KE INDONESIA
Zionis Yahudi masuk ke Indonesia tentu saja seiring dengan
masuknya penjajah belanda ke negeri ini. Kerajaan Belanda sejak dahulu telah
dikenal sebagai tempat pertemuan Freemasonry se-Eropa.
Pada November 1875, pusat gerakan Zionis di Inggris,
Fremasonry, mengutus Madame Blavatsky—demikian Helena Balavatsky biasa
disebut—ke New York. Sesampainya di sana, Blavatsky langsung mendirikan
perhimpunan kaum Theosofi. Sejak awal, organisasi kepanjangan tangan
Zionis-Yahudi ini, telah menjadi mesin pendulang dolar bagi gerakan
Freemasonry.
Di luar Amerika, sebut misalnya di Hindia Belanda, Blavatsky
dikenal sebagai propagandis utama ajaran Theosofi. Pada tahun 1853, saat
perjalanannya dari Tibet ke Inggris, Madame Blavatsky pernah mampir ke Jawa
(Batavia). Selama satu tahun di Batavia, ia mengajarkan Theosofi kepada para
elit kolonial dan masyarakat Hindia Belanda. Sejak itu, Theosofi menjadi salah
satu ajaran yang berkembang di Indonesia dan tentu saja sambil mengajarkan
doktrin-doktrin ajaran zionis/freemasonry.
Tahun 1909, dalam Kongres Theosofi di Bandung, jumlah
anggota Theosofi adalah 445 orang (271 Belanda, 157 Bumiputera, dan 17 Cina).
Dalam Kongres itu juga disepakati terbitnya majalah Theosofi berbahasa Melayu
“Pewarta Theosofi” yang salah satu tujuannya menyebarkan dan mewartakan perihal
usaha meneguhkan persaudaraan. Pada tanggal 15 April 1912, berdirilah
Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (NITV), yang diakui secara sah
sebagai cabang Theosofi ke-20, dengan Presidennya D. van Hinloopen Labberton.
Tahun 1915, dalam Kongres Theosofi di Yogyakarta, jumlah anggotanya sudah
mencapai 830 orang (477 Eropa), 286 bumiputera, 67 Cina.
Sebuah buku yang ditulis oleh Iskandar P. Nugraha berjudul
Mengikis Batas Timur dan Barat: “Gerakan Theosofi dan Nasionalisme Indonesia”
(2001), memberikan gambaran besarnya pengaruh gerakan Theosofi pada tokoh-tokoh
nasional di Indonesia. Misalnya, orang tua Soekarno (R. Soekemi) ternyata
anggota Theosofi.
Hatta juga mendapat beasiswa dari Ir. Fournier dan van
Leeuwen, anggota Theosofi. Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota atau dekat
sekali hubungannya dengan Theosofi adalah Moh. Yamin, Abu Hanifah, Radjiman
Widijodiningrat (aktivis Theosofi), Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker,
Armijn Pane, Sanoesi Pane, dan sebagainya.
Selanjutnya Anggaran Dasar NITV kemudian disetujui
Pemerintah Hindia Belanda tanggal 2 November 1912. Dengan demikian, NITV
menjadi organisasi yang sah dan berdasar hukum. Pusatnya di Batavia. Cita-cita
yang dicanangkan NITV adalah keinginan untuk memajukan kepintaran, kebaikan,
dan keselamatan “saudara-saudara” pribumi, agar dengan bangsa Barat dapat
saling berdekatan.
Kebangkitan theosofi di Indonesia saat ini pun semakin nyata
dengan didirikannya Persatuan warga theosofi Indonesia (PERWATHIN) yang
beralamat di jl. Anggrek Neli Murni Blok a-104.
Dan sebagai alat propagandanya mereka menerberbitkan majalah
Theosofi Indonesia. Alamat redaksinya; Metro Permata I, blok I 3/7 Jl. Raden
Saleh Karang Mulya Ciledug
Theosofi, seperti dijelaskan oleh Blavatsky : “Kearifan
ilahi (Theosophia) atau kearifan para dewa, sebagai theogonia, asal-usul para
dewa. Kata theos berarti seorang dewa dalam bahasa Yunani, salah satu dari
makhluk-makhluk ilahi, yang pasti bukan ‘’Tuhan’’ dalam arti yang kita pakai
sekarang. Karena itu, Theosofi bukanlah ‘Kebijaksanaan Tuhan’, seperti yang
diterjemahkan sebagian orang, tetapi ‘Kebijaksanaan ilahi’ seperti yang
dimiliki oleh para dewa.’’
Dengan pandangan dan misi seperti itu, Theosofi tampak
bermaksud menjadi pelebur agama-agama atau menjadi kelompok ‘super-agama’ yang
berada di atas atau di luar agama-agama yang ada. Hal ini sangat sejalan dengan
gagasan Pluralisme Agama. Maka tidak heran pada pita yang di dipegang oleh kaki
burung garuda mengutip ajaran Mpu Tantular dalam kitab sutasoma yang bertulis :
“Bhinneka tunggal ika” yang jelas-jelas merupakan symbol sikretisme atau
perpaduan seluruh agama maupun budaya menjadi satu sebagai dasar Negara ini.
Dan konsep ini substansinya sangat mirip sekali dengan ilyasiq dasar hukum
Mongol tar-tar sebagaimana yang nanti akan dijelaskan.
PAGANISME GARUDA PANCASILA SEBAGAI ILYASIQ MODERN DAN
BAGAIMANA SIKAP KITA?
Lambang burung Garuda Pancasila diprakarsai oleh M. Yamin,
Ki Hajar Dewantoro dan ditetapkan oleh Soekarno. Jelas ketiganya merupakan
anggota theosofi.
Burung Garuda sejatinya tidak pernah ada di dunia ini,
bahkan lambang burung garuda ini di duga kuat merupakan lambang paganis yang
terinspirasi dari lambang dewa Horus sebagai kepercayaan rakyat mesir yang
dipercaya hidup pada 3000 SM. Zionis Yahudi memang kerap menandai suatu Negara
yang berada di bawah pengaruhnya dengan lambang burung, dan itu bisa kita lihat
seperti Negara Amerika Serikat.
Selanjutnya bukan hanya sebagai pagan (berhala) thaghut
secara fisik Garuda Pancasila juga menjadi thaghut dalam hal hukum.
Dasar hukum Pancasila sebagai Dasar Negara adalah Pembukaan
UUD 1945 alinea keempat, sedang dasar hukum Pancasila sebagai “sumber segala
sumber hukum yang tertinggi” adalah Tap MPR No. III/MPR/2000. Ini merupakan
bentuk “kufrun bawwah” kekufuran yang nyata. Dan ada banyak dalil yang
menerangkan kekufuran tersebut. Adapun yang dimuat dalam tulisan ini hanya
beberapa diantaranya adalah dalil-dalil yang memiliki kaitan sebagaimana yang
pernah terjadi di masa-masa kekuasaan Jengis Khan yang membuat konsep hukum
positif di mana di dalamnya berisi aturan-aturan kompilasi dari berbagai
ajaran, seperti; Nasrani, Yahudi, adat-istiadat, Islam dll persis seperti
ajaran Pancasila yang berbunyi; “Bhinneka tunggal ika”.
Kemudian akibat diterapkannya sumber hukum Thaghut tersebut
berapa banyak darah umat Islam tercecer?! Berapa banyak para ulama yang menjadi
tumbalnya?! Dan berapa banyak kepentingan umat Islam untuk menegakkan
syari’ahnya dikorbankan demi untuk membela apa yang disebut dengan “Pancasila
Sakti”. Oleh sebab itu dalam pembahasan terakhir ini akan “sedikit” dijelaskan
mengenai status bagaimana menjadikan Ilyasiq Moderen (Pancasila) sebagai dasar
hukum negeri ini, dan juga fatwa-fatwa para ulama tentang bagaimana seharusnya
umat Islam bersikap.
Firman Allah Ta’ala :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka
cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin?”
[QS. Al Maidah :50].
Allah Azza Wa Jalla menyebutkan hukum jahiliyah yaitu
perundang-undangan dan sistem jahiliyah sebagai lawan dari hukum Allah, yaitu
syari’at dan sistem Allah. Jika syari’at Allah adalah apa yang dibawa oleh Al
Qur’an dan As Sunah, maka apalagi hukum jahiliyah itu kalau bukan
perundang-undangan yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunah?.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, “Perhatikanlah ayat
yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja.
Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hukum Jahiliyah. Dengan demikian jelas,
para penetap undang-undang merupakan kelompok orang-orang jahiliyah; baik
mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka lebih jelek dan lebih
berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang jahiliyah tidak melakukan
kontradiksi dalam ucapan mereka, sementara para penetap undang-undang ini
menyatakan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah namun mereka mau mencari
celah. Allah telah berfirman mengenai orang-orang seperti mereka:
“Mereka itulah orang-orang kafir
yang sebenarnya dan Kami siapkan bagi orang-orang kafir adzab yang
menghinakan.” (Risalatu tahkimil qawanin hal. 11-12)
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini:
ينكر تعالى على من خرج عن حكم الله المُحْكَم
المشتمل على كل خير، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء والأهواء والاصطلاحات،
التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله، كما كان أهل الجاهلية يحكمون به من الضلالات
والجهالات، مما يضعونها بآرائهم وأهوائهم، وكما يحكم به التتار من السياسات الملكية
المأخوذة عن ملكهم جنكزخان، الذي وضع لهم اليَساق وهو عبارة عن كتاب مجموع من أحكام
قد اقتبسها عن شرائع شتى، من اليهودية والنصرانية والملة الإسلامية، وفيها كثير من
الأحكام أخذها من مجرد نظره وهواه، فصارت في بنيه شرعًا متبعًا، يقدمونها على الحكم
بكتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم. ومن فعل ذلك منهم فهو كافر يجب قتاله، حتى
يرجع إلى حكم الله ورسوله [صلى الله عليه وسلم] فلا يحكم سواه في قليل ولا كثير
“Allah mengingkari orang yang keluar
dari hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala
kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa
pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh
penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut
jahiliyah bangsa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari sistem
perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat
undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan
perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber
Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat
hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata. Hukum ini
menjadi undang-undang yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka
mendahulukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunah .
Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia
kembali berhukum kepada hukum Allah dan Rasul-nya, sehingga tidak berhukum
dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak mau pun sedikit.” (Tafsir Ibnu
Katsir 3/131)
Tidak ada perbedaan antara Tartar dengan para penguasa kita
hari ini, justru para penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar,
sebagaimana disebutkan melalui komentar ‘Alamah Syaikh Ahmad Syakir atas
perkataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.
“Apakah kalian tidak melihat
pensifatan yang kuat dari Al Hafidz Ibnu Katsir pada abad kedelapan hijriyah
terhadap undang-undang postif yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan?
Bukankah kalian melihatnya mensifati kondisi umat Islam pada abad empat belas
hijriyah? Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi ; hukum Ilyasiq
hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyelusup dalam umat Islam
dan segera hilang pengaruhnya. Namun kondisi kaum muslimin saat ini lebih buruk
dan lebih dzalim dari mereka karena kebanyakan umat Islam hari ini telah masuk
dalam hukum yang menyelisihi syariah Islam ini, sebuah hukum yang paling
menyerupai Ilyasiq yang ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah
jelas kekafirannya….Sesungguhnya urusan hukum positif ini telah jelas layaknya
matahari di siang bolong, yaitu kufur yang nyata tak ada yang tersembunyi di
dalamnya dan tak ada yang membingungkan. Tidak ada udzur bagi siapa pun yang
mengaku dirinya muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya atau
mengakuinya. Maka berhati-hatilah, setiap individu menjadi pengawas atas
dirinya sendiri.” (Umdatu Tafsir IV/173-174)
Ketika berhukum dengan Ilyasiq bangsa Tatar sudah masuk
Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Ilyasiq ini dan mendahulukannya
atas kitabullah dan sunah Rasul-Nya, para ulama mengkafirkan mereka dan
mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu Katsir
berkata tentang peristiwa tahun 694 H, “Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin
Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan
keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau
mayoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan menaburkan emas, perak dan
permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mahmud…”
Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah, “Terjadi
perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka menampakkan
keislaman dan tidak termasuk pemberontak. Mereka bukanlah orang-orang yang
menyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka Syaikh
Taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata, “Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar
dari Ali dan Mu’awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka
mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum muslimin lainnya dan mereka
mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzaliman, padahal
mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari
kemaksiatan umat Islam lainnya.” Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab
harus memerangi bangsa Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada
masyarakat, “Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku
ada mushaf, maka bunuhlah aku.” (Al Bidayah wan Nihayah XIV/25, lihat juga
Majmu’ Fatawa XXVIII/501-502, XXVIII/509 dst)
Maksud dari disebutkannya peringatan ini adalah menerangkan
tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menampakkan
Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat sehingga tidak boleh memerangi
mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi
seluruh ulama untuk menyatakan kekafiran mereka dan wajibnya memerangi mereka,
disebabkan karena mereka berhukum dengan Ilyasiq yang merupakan undang-undang
yang paling mirip dengan undang-undang positif yang hari ini menguasai
mayoritas negeri-negeri umat Islam. Karena itu, Syaikh Ahmad Syakir menyebut
undang-undang ini dengan istilah Ilyasiq kontemporer, sebagaimana beliau
sebutkan dalam Umdatu tafsir.
Telah menjadi ijma’ ulama bahwa menetapkan undang-undang
selain hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir
akbar yang mengeluarkan dari milah.
Ibnu Katsir berkata setelah menukil perkataan imam Al
Juwaini tentang Ilyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar :
“Barang siapa meninggalkan syari’at
yang telah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh
nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at lainnya yang telah mansukh (dihapus
oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum
kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Allah? Siapa melakukan hal itu
berarti telah kafir menurut ijma’ kaum muslimin.” (Al Bidayah wan Nihayah
XIII/128).
Demikianlah risalah singkat ini, penulis memohon kepada
Allah ta’ala Yang Maha Berkuasa, untuk menjadikan pembahasan ini semata-mata
untuk mencari ridha-Nya. Semoga Allah mengampuni segala ketergelinciran dalam
kajian ini, penulis tidak bermaksud selain mencari kebenaran.
Apabila dalam kajian ini ada kebenaran, maka itu dari Allah
ta’ala semata. Dan apabila ada kesalahan, maka itu semua dari saya pribadi dan
dari setan, Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam berlepas diri
darinya.
http://arrahmah.com/
0 comments:
Posting Komentar